MURID YANG HILANG DARI PELUKAN GURU Esai Peringatan Hari Guru
Oleh: M. Yusuf Gayo (Guru Besar Pendidikan Nilai dan Karakter Islami, IAIN Kerinci) Dalam setiap peringatan Hari Guru, sekolah-sekolah di In...
https://www.arunika.news/2025/11/murid-yang-hilang-dari-pelukan-guru.html
Oleh: M. Yusuf Gayo
(Guru Besar Pendidikan Nilai dan Karakter Islami, IAIN Kerinci)
Dalam setiap peringatan Hari Guru, sekolah-sekolah di Indonesia selalu tampak meriah. Ucapan terima kasih memenuhi ruang kelas, spanduk berisi slogan menghiasi pagar sekolah, dan bunga-bunga kertas bergerak tertiup angin pagi. Namun di balik kemeriahan itu, ada pertanyaan sunyi yang jarang kita ajukan: benarkah hubungan guru dan murid kita hari ini masih hangat seperti dahulu?
Pertanyaan ini mengemuka karena ada sesuatu yang penting tengah bergeser—perlahan namun pasti. Sebuah elemen mendasar dalam tradisi pendidikan Islam telah memudar: hubungan guru yang memperlakukan murid layaknya anak sendiri.
Prophetic Education dan Kasih Sayang yang Hilang
Dalam paradigma pendidikan profetik, guru bukan sekadar penyampai informasi. Ia adalah figur orang tua kedua, penjaga akhlak, pengasuh jiwa, dan pembimbing nilai. Rasulullah ﷺ adalah rujukan tertinggi model ini. Beliau tidak hanya mendidik para sahabat; beliau membesarkan mereka.
Ketika memanggil, beliau menggunakan sapaan penuh kasih sayang: “ya bunayya wahai anakku.”
Ketika membina, beliau menghindari kekerasan fisik maupun verbal. Ketika menegur, beliau memilih kata-kata yang lembut, bahkan dalam situasi yang sulit.
Dalam satu kesempatan, seorang Arab Badui kencing di dalam masjid. Para sahabat marah dan hampir bereaksi spontan, tetapi Rasulullah ﷺ menahan mereka. Beliau membiarkan orang itu menyelesaikan perbuatannya, lalu menasihati dengan sabar. Hadis ini bukan sekadar catatan sejarah; ia adalah pesan kuat tentang metode pendidikan Nabi—menempatkan kasih sayang di atas emosi.
Sikap ini sejalan dengan sabda beliau:
“Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan.” (HR. Bukhari)
Dalam perspektif inilah pendidikan profetik bekerja: memanusiakan, membebaskan, dan mendekatkan manusia kepada nilai-nilai ilahiah.
Tekanan Sistem dan Guru yang Kehilangan Ruang
Ironisnya, di ruang-ruang kelas masa kini, hubungan itu tidak selalu tampak. Sebagian guru menghadapi tekanan sistemik yang berat: pemenuhan jam sertifikasi, beban administrasi, supervisi kinerja, laporan pengajaran, hingga tumpukan dokumen yang terkadang lebih banyak daripada waktu interaksi dengan siswa.
Guru dikejar angka: jumlah jam, jumlah kelas, nilai kinerja, dan tuntutan akreditasi. Dalam tekanan itu, murid sering kali terpinggirkan secara emosional. Pendidikan berubah menjadi proses administratif, bukan relasi kemanusiaan.
Akibatnya, murid tidak lagi dipandang sebagai amanah, melainkan sebagai unit kerja. Sementara guru terjebak antara idealisme dan realitas. Banyak dari mereka yang sesungguhnya ingin mengajar dengan hati, tetapi sistem menuntut mereka bekerja sebagai operator mesin pendidikan.
Ketika kelelahan emosional dan tekanan struktural bertemu, muncul gesekan: guru yang mudah marah, hukuman fisik yang masih terjadi di beberapa sekolah, serta jarak psikologis yang kian jauh antara guru dan murid. Fenomena ini bukan semata kegagalan personal, tetapi kegagalan sistemik.
Siapa yang Salah?
Pertanyaan yang paling sensitif dalam isu ini adalah: siapa yang salah? Guru? Murid? Orang tua? Pemerintah?
Jawaban yang jujur mungkin tidak sederhana, tetapi jelas bahwa masalah inti terletak pada desain sistem pendidikan yang lebih menekankan administratif daripada hubungan manusiawi. Guru didorong untuk memenuhi indikator kinerja yang kaku, sedangkan aspek afektif yang merupakan inti dari pendidikan profetik—sering tidak memiliki ruang yang cukup.
Kita lupa bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah menilai muridnya dari laporan tertulis atau lembar supervisi. Beliau menilai dari karakter, akhlak, dan kedekatan hati.
Sistem pendidikan yang menempatkan guru sebagai pelaksana instruksi administratif, alih-alih sebagai pendidik jiwa, pada akhirnya menciptakan jurang emosional yang sulit dijembatani.
Menghidupkan Kembali Pendidikan Propetik
Jika pendidikan kita ingin kembali pada ruhnya, maka kita perlu menghidupkan tiga pilar pendidikan profetik (Kuntowijoyo):
- Humanisasi (Amar Ma’ruf):
Memanusiakan murid, mengembalikan peran guru sebagai pembimbing jiwa, bukan operator kurikulum.
- Liberasi (Nahi Munkar):
Membebaskan guru dari tekanan administratif yang berlebihan agar mereka kembali bisa menghadirkan ketulusan.
- Transendensi (Iman kepada Allah):
Menguatkan nilai spiritual, bahwa mendidik adalah ibadah, bukan semata profesi.
Reformasi pendidikan tidak boleh berhenti pada perubahan kurikulum. Ia harus menyentuh jantung persoalan: relasi kemanusiaan di ruang kelas. Selama hubungan itu renggang, selama murid tidak merasa diperlakukan sebagai anak sendiri, selama guru tidak mendapat ruang untuk mengajar dengan hati, maka pendidikan kita akan terus berjalan pincang.
Penutup: Mengembalikan Pelukan yang Hilang
Hari Guru harusnya menjadi momentum refleksi kolektif. Bukan hanya merayakan profesi guru, tetapi mengoreksi arah kebijakan pendidikan nasional. Kita perlu bertanya ulang: apakah sekolah hari ini masih menjadi ruang kehangatan? Apakah guru masih memiliki ruang untuk meneladani akhlak Rasul? Apakah murid masih merasakan figur pengasuh di sekolah?
Dalam pendidikan profetik, pelukan adalah bahasa. Pelukan adalah metode. Pelukan adalah jembatan spiritual antara guru dan murid.
Dan ketika pelukan itu hilang, yang hilang bukan hanya kedekatan—tetapi ruh pendidikan itu sendiri.
Selamat hari guru. Semoga peringatan hari Guru tahun ini bukan sekadar seremoni, tetapi awal dari upaya mengembalikan pendidikan Indonesia ke jalur kasih sayang, sebagaimana warisan abadi Rasulullah ﷺ.
