Kicauan dan Tangisan
Oleh: Gilang Nugraha Pratama Barangkali, di antara kepungan kabut asap, aliran sungai yang makin keruh, dan pohon-pohon yang tumbang oleh te...

![]() |
Oleh: Gilang Nugraha Pratama |
Barangkali, di antara kepungan kabut asap, aliran sungai yang makin keruh, dan pohon-pohon yang tumbang oleh tebasan mesin, pemerintah kita masih punya satu harapan yaitu suara merdu burung dalam sangkar.
Begitulah kiranya yang terjadi di Kota Sungai Penuh. Dalam semangat “pelestarian budaya dan hiburan rakyat,” Wali Kota dengan bangga menggelar lomba burung berkicau. Puluhan bahkan ratusan burung dikurung rapi, dijemur di tengah lapangan, diadu suaranya sambil pemiliknya berteriak penuh semangat. Sebuah pesta suara yang menghibur manusia, meski bagi burungnya entah hiburan atau hukuman.
Satire zaman ini adalah ketika kota yang berada di jantung keanekaragaman hayati yang bersebelahan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat yang lebih sibuk mengurung burung daripada menjaga hutan. Hutan yang menjadi rumah asli bagi burung-burung, kini terus digunduli, diubah menjadi ladang tanpa izin, perumahan yang rakus.
Ironi ini menggantung seperti sangkar besi bagi burung seharusnya bisa bebas di rimba malah disoraki ketika berkicau dalam kurungan. Sementara itu, yang benar-benar berkicau minta tolong akan hutan yang terbelah, air yang tak lagi jernih, dan tanah yang longsor tiap musim hujan, tak satu pun mendapat podium penghargaan.
Lomba burung, tentu saja, sah-sah saja. Tapi dalam konteks ekologi yang sedang sekarat, ia seperti pesta dansa di atas kapal Titanic. Rakyat bersorak, pemerintah tersenyum, sementara lingkungan diam-diam tenggelam.
Pertanyaannya sederhananya siapa yang akan mendengar kicau burung liar kelak, kalau hutan mereka hilang? Dan kalau semua burung akhirnya hanya ada dalam sangkar-sangkar mahal, apakah itu yang kita sebut "pelestarian"?
Mungkin sudah waktunya Walikota menggelar lomba baru, lomba menanam pohon terbanyak, lomba membersihkan sungai terkotor, atau lomba mengembalikan burung ke hutan. Sebab pelestarian sejati bukan soal siapa yang punya burung paling nyaring, tapi siapa yang menjaga rumah burung itu tetap ada.
Akhir kata, mari kita nikmati nyanyian burung… sebelum yang terakhir dikurung dan sisanya tinggal kenangan di spanduk lomba.