CINTA, KOMUNIKASI DAN WAKTU

Oleh : Arifman Keluarga merupakan fondasi utama dalam pembentukan masyarakat yang sehat dan beradab. Dalam Islam, keluarga tidak hanya dipah...

Oleh : Arifman

Keluarga merupakan fondasi utama dalam pembentukan masyarakat yang sehat dan beradab. Dalam Islam, keluarga tidak hanya dipahami sebagai ikatan biologis atau sosial semata, melainkan sebagai institusi sakral yang dibangun atas dasar iman, tanggung jawab, dan nilai-nilai ketuhanan.

Al-Qur’an dan Sunnah memberikan panduan komprehensif mengenai bagaimana keluarga seharusnya dibangun dan dipelihara. Di antara prinsip paling mendasar dalam membangun keluarga ideal menurut Islam adalah cinta (mawaddah), komunikasi yang baik (tawāṣul bi al-ma‘rūf), dan pengelolaan waktu yang berkualitas (ḥusn al-idārah li al-waqt). Ketiganya saling berkaitan dan menjadi kunci terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah, wa raḥmah.

Cinta dan Spiritualitas

Islam menempatkan cinta sebagai fondasi utama dalam hubungan keluarga, khususnya antara suami dan istri. Al-Qur’an menegaskan bahwa pernikahan bukan sekadar kontrak sosial, melainkan tanda kebesaran Allah.

Dalam QS. ar-Rūm [30]: 21, Allah berfirman bahwa Dia menciptakan pasangan hidup agar manusia memperoleh ketenangan (sakinah), serta menanamkan di antara mereka rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang (raḥmah). Ayat ini menunjukkan bahwa cinta dalam Islam bukan hanya perasaan emosional yang fluktuatif, tetapi nilai spiritual yang harus dipelihara dan ditumbuhkan.

Cinta dalam keluarga ideal tidak berhenti pada romantisme, tetapi diwujudkan dalam tanggung jawab, pengorbanan, dan komitmen jangka panjang. Rasulullah ﷺ mencontohkan cinta yang penuh empati dan kelembutan dalam kehidupan rumah tangganya. Beliau membantu pekerjaan rumah, bersikap lembut kepada istri, serta mengekspresikan kasih sayang secara terbuka.

Hal ini menunjukkan bahwa cinta dalam Islam bersifat aktif dan nyata, bukan sekadar konsep abstrak. Ketika cinta dijadikan fondasi, keluarga akan memiliki ketahanan emosional dalam menghadapi konflik dan ujian kehidupan.

Komunikasi dan Harmoni

Selain cinta, komunikasi merupakan elemen krusial dalam membangun keluarga ideal. Islam sangat menekankan pentingnya perkataan yang baik, jujur, dan penuh hikmah. Prinsip qaulan ma‘rūfan (perkataan yang baik) dan qaulan layyinan (perkataan yang lembut) menjadi pedoman utama dalam interaksi keluarga. Komunikasi yang sehat memungkinkan setiap anggota keluarga merasa didengar, dihargai, dan dipahami.

Dalam konteks keluarga, komunikasi bukan hanya soal menyampaikan pesan, tetapi juga tentang mendengarkan dengan empati. Banyak konflik rumah tangga bermula bukan dari masalah besar, melainkan dari kegagalan berkomunikasi secara efektif.

Islam mengajarkan musyawarah (shūrā) sebagai metode penyelesaian masalah, termasuk dalam lingkup keluarga. Dengan komunikasi yang terbuka dan berlandaskan adab Islam, perbedaan pendapat dapat dikelola secara konstruktif, bukan destruktif.

Rasulullah ﷺ juga memberikan teladan komunikasi keluarga yang dialogis dan penuh penghargaan. Beliau tidak bersikap otoriter, tetapi mengajak berdiskusi, bahkan menerima pendapat istri dalam berbagai situasi. Ini menunjukkan bahwa komunikasi dalam keluarga ideal Islam bersifat dua arah, setara dalam martabat, dan berorientasi pada kebaikan bersama.

Waktu sebagai Amanah

Aspek penting lain yang sering diabaikan dalam kehidupan keluarga modern adalah waktu. Islam memandang waktu sebagai amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban. Dalam konteks keluarga, kualitas waktu kebersamaan sering kali lebih penting daripada kuantitasnya. Kehadiran fisik tanpa keterlibatan emosional tidak cukup untuk membangun kedekatan keluarga.

Pengelolaan waktu yang baik memungkinkan orang tua hadir secara utuh dalam kehidupan anak-anak dan pasangan. Islam mendorong keseimbangan antara ibadah, pekerjaan, dan keluarga. Rasulullah ﷺ adalah teladan terbaik dalam hal ini. Meskipun memiliki tanggung jawab dakwah yang besar, beliau tetap menyediakan waktu untuk keluarga, bercengkerama, dan mendidik anak-anak dengan penuh perhatian.

Waktu berkualitas dalam keluarga mencakup aktivitas sederhana seperti makan bersama, berdialog dari hati ke hati, serta beribadah bersama. Aktivitas ini memperkuat ikatan emosional dan spiritual, sekaligus menjadi sarana internalisasi nilai-nilai Islam kepada anak-anak. Dalam keluarga yang ideal, waktu tidak hanya dihabiskan, tetapi diinvestasikan untuk membangun karakter dan ketakwaan.

Sinergi Cinta, Komunikasi, dan Waktu

Cinta, komunikasi, dan waktu bukanlah elemen yang berdiri sendiri. Ketiganya saling menguatkan dan membentuk satu kesatuan utuh dalam membangun keluarga ideal. Cinta tanpa komunikasi yang baik dapat berubah menjadi asumsi dan kekecewaan. Komunikasi tanpa cinta akan terasa kering dan mekanis. Sementara itu, cinta dan komunikasi tanpa waktu yang cukup akan kehilangan ruang aktualisasinya.

Islam menawarkan kerangka holistik dalam membangun keluarga, di mana aspek emosional, sosial, dan spiritual terintegrasi secara harmonis. Keluarga ideal dalam pandangan Islam bukanlah keluarga tanpa konflik, melainkan keluarga yang mampu mengelola konflik dengan cinta, komunikasi yang sehat, dan kebersamaan yang bermakna. Dengan menjadikan ketiga aspek ini sebagai prioritas, keluarga akan menjadi tempat tumbuhnya generasi yang beriman, berakhlak mulia, dan siap berkontribusi bagi masyarakat.

Di tengah tantangan kehidupan modern yang serba cepat dan individualistik, nilai-nilai Islam tentang keluarga menjadi semakin relevan. Cinta sebagai fondasi spiritual, komunikasi sebagai sarana membangun kepercayaan, dan waktu sebagai amanah kebersamaan adalah pilar utama keluarga ideal dalam pandangan Islam.

Ketika ketiganya dihadirkan secara seimbang dan konsisten, keluarga tidak hanya menjadi tempat berlindung secara emosional, tetapi juga wahana pembentukan peradaban. Dengan demikian, membangun keluarga ideal bukan sekadar proyek personal, melainkan bagian dari ibadah dan kontribusi nyata bagi kemaslahatan umat.

Ayah Harus Hadir

Keberadaan seorang ayah dalam pendidikan keluarga memiliki peran yang sangat strategis dan tidak tergantikan. Ayah bukan hanya figur pencari nafkah, tetapi juga pendidik utama yang membentuk arah, nilai, dan karakter anak.

Dalam perspektif pendidikan keluarga, ayah berfungsi sebagai penentu visi dan teladan kepemimpinan moral. Kehadiran ayah secara fisik maupun emosional memberikan rasa aman, ketegasan, dan struktur dalam kehidupan anak, yang sangat dibutuhkan terutama pada masa pertumbuhan dan pembentukan identitas diri.

Berbagai kajian menunjukkan bahwa meningkatnya kasus amoralitas, penyimpangan perilaku, hingga seks menyimpang pada remaja sering kali berkorelasi dengan hilangnya peran ayah dalam keluarga (fatherless).

Ketidakhadiran ayah, baik karena perceraian, kesibukan berlebihan, maupun ketidakpedulian emosional, menyebabkan anak kehilangan figur otoritas yang menanamkan batasan nilai dan tanggung jawab. Akibatnya, remaja lebih rentan mencari figur pengganti di luar rumah yang belum tentu memberikan pengaruh positif, sehingga mudah terjerumus pada perilaku menyimpang.

Ibu sering diibaratkan sebagai sekolah pertama bagi anak, karena darinyalah anak belajar kasih sayang, bahasa, dan nilai-nilai dasar kehidupan. Namun, dalam sistem pendidikan keluarga, ayahlah yang berperan sebagai “kepala sekolah” yang mengarahkan jalannya pendidikan tersebut.

Ayah bertugas memastikan bahwa nilai, disiplin, dan tujuan pendidikan keluarga berjalan secara konsisten dan berkesinambungan. Sinergi antara peran ibu dan ayah menjadi kunci utama keberhasilan pendidikan karakter dalam keluarga.

Dalam pandangan Islam, peran ayah sebagai pemimpin keluarga (qawwām) mengandung tanggung jawab besar dalam membimbing dan mendidik anak menuju ketakwaan dan akhlak mulia. Ayah dituntut tidak hanya hadir secara biologis, tetapi juga terlibat aktif dalam pembinaan spiritual, moral, dan sosial anak.

Dengan menjalankan peran kepemimpinan yang penuh kasih, keteladanan, dan tanggung jawab, ayah dapat menjadi benteng utama dalam mencegah degradasi moral dan membentuk generasi yang kuat secara iman, kepribadian, dan peradaban.


REFERENSI

*. Al-‘Umari, A. (2010). Manhaj at-Tarbiyah an-Nabawiyyah li al-Usrah. Kairo: Dār as-Salām.

*. Al-Bukhari, M. I. (2002). Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Vol. 7). Beirut: Dār Ibn Kathīr.

*. Al-Ghazali, M. (1998). Khuluq al-Muslim. Kairo: Dār al-Shurūq.

*. Al-Qur’an al-Karim. (n.d.). Surah Ar-Rūm (30): 21. Kementerian Agama Republik Indonesia.

*. Al-Qurṭubī, M. A. (2006). Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān (Vol. 14). Beirut: Mu’assasah al-Risālah.

*. Al-Tabrizi, W. ad-D. (2005). Mishkāt al-Maṣābīḥ. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

*. Al-Zuhayli, W. (2011). Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu (Vol. 9). Damaskus: Dār al-Fikr.

*. Amin, S., & Huda, N. (2021). Komunikasi keluarga dalam membentuk keluarga sakinah menurut perspektif Islam. Naafi’: Jurnal Studi Islam, 1(2), 45–60.

*. At-Tirmidhī, M. Ī. (2007). Sunan at-Tirmidhī. Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī.

*. Covey, S. R. (2004). The 7 habits of highly effective families. New York: Free Press.(Digunakan sebagai penguat konseptual, dikontekstualkan dengan nilai Islam).

*. Ibnu Katsir, I. (2000). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm (Vol. 6). Riyadh: Dār Ṭayyibah.

*. Kementerian Agama Republik Indonesia. (2019). Al-Qur’an dan terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.

*. Langgulung, H. (2004). Manusia dan pendidikan: Suatu analisa psikologi dan pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru.

*. Muslim, H. (2003). Ṣaḥīḥ Muslim. Riyadh: Dār al-Salām.

*. Quraish Shihab, M. (2002). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur’an (Vol. 11). Jakarta: Lentera Hati.

*. Rohman, A. (2020). Konsep sakinah, mawaddah, dan rahmah dalam Al-Qur’an sebagai fondasi keharmonisan keluarga. Takwil: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Hadis, 2(1), 15–30.

Related

Bahasa 2884941318164738751

Terbaru

Hot in week

Komentar

item