Lupa Akar dan Langitnya: Refleksi dari Kesalehan Ekologi

AS.Agusta, S.IP. MA Akademisi Perubahan iklim serba cepat di Indonesia bukan sesuatu yang aneh, letak geografis sangat strategis yang mengan...

AS.Agusta, S.IP. MA
Akademisi

Perubahan iklim serba cepat di Indonesia bukan sesuatu yang aneh, letak geografis sangat strategis yang mengandung potensi alamiah cukup membahayakan dan menghancurkan. Melihat lebih jauh potensi gempa bumi, tsunami, badai, gunung berapi, banjir dan tanah longsor adalah sisi lain yang tidak terpisahkan dari kesuburan, kemakmuran dan posisi strategis yang dimiliki negara ini. Namun disisi lainnya dengan letak strategis maka bumi nusantara juga sebagai pusat peradaban yang kaya dengan ragam sumber daya (HPT, 2018). Bagian lainnya yang tidak kalah penting dari kebencanaan ialah masalah persepsi mengenai bencana. Fikih kebencanaan telah diterbitkan oleh Muhammadiyah pada tahun 2015 disaat Munas Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai bentuk upaya dalam memahami, menjelaskan, mengantisipasi dan menyikapi peristiwa-peristiwa kebencanaan yang didasarkan pada nilai-nilai, etik, dan etos dalam al-Qur’an dan Hadits. 

Menguliti isi dalam fikih kebencanaan maka ada dua indicator utama yang menjadi perhatian yakni dari sisi teologis dan sosiologis. Dalam hal teologis tentunya kita harus mematuhi apa yang sudah Allah SWT gariskan kepada kita yakni sebagai penjaga bumi bukan perusak bumi. Allah SWT memiliki sifat Rahman dan Rahim ketika kita meyakini sifat tersebut maka konsekuensi ialah mematuhi apapun yang sudah diberikan kepada kita karena itu adalah kerangka kebaikan dan penuh dengan kasih sayang. Cara pandang inipun harus dipakai ketika mengatasi agar tidak terjadi bencana dalam wilayah yang kita ada didalamnya. Sebagai khalifah dimuka bumi tugas penting ini tidak boleh kita abaikan, kita bisa memulai dari hal kecil dan ruang kecil terlebih dahulu. Seperti pada tanggal 27 April 2025 di Kota Sungai Penuh, Jambi melaksanakan kegiatan Gerakan Masyarakat Peduli Lingkungan dengan Aksi Nyata seluruh masyarakat di kota ikut serta bersih kota yang dimulai dari rumah masing-masing, tentunya kegiatan ini di inisiasi oleh STKIP Muhammadiyah Sungai Penuh. Kegiatan ini patut kita apresiasi sebagai bentuk spirit kesalehan sosial pada lingkungan hidup.

Kedua bencana terjadi dari peran manusia memperlakukan alam, tidak melakukan kerusakan, menjaga harmoni alam dan menjadikan alam sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam konteks kebencanaan manusia sebagai khalifah memiliki tiga peranan yakni melakukan upaya preventif dimana menjaga lebih baik dari kejadian yang akan terjadi peranan ini juga dapat meminimalisirkan kerugian dan korba jiwa, kemudian mengembangkan positive thinking and action dimana setiap kejadian ada kebaikan disana, dan terakhir adalah upaya rehabilitasi. Upaya ini tentunya tidak bisa sebatas teoritis saja, namun perlu penerapan praktis dimulai secara perlahan-lahan. Di Kota Sungai Penuh terutama daerah banjir seperti Kecamatan Hamparan Rawang, Tanah Kampung, Sungai Penuh kemudian bencana longsor Kecamatan Pondok Tinggi, Kumun Debai dan sebagainya patut menerapkan tiga peranan tersebut. 

Kita mencintai Kota ini layaknya sebuah bahtera yang mengarungi lautan, tentunya kita harus ekstra menjaga agar tidak terjadi kebocoran kecil sehingga bisa merusak semua tatanan didalamya. Memulai ini tentu dari diri sendiri, karena tidak cukup dengan teriakan tentang perubahan namun lebih fasih berbicara soal posisi strategis atau keuntungan ketika bergabung, dari pada posisi etis yang melihat lebih kaya dalam perspektif. Dalam kecintaan kita juga tidak membutuhkan keinginan tanpa praktik logis yang dilakukan, kita juga tidak ingin adanya low politics hanya untuk kepentingan pribadi dan kolega nya saja, tanpa memahami nilai-nilai dan matan keyakinan dalam menjalani kehidupan ini. Yang dibutuhkan dalam hal kebijakan ialah high politics berbasis pencerahan dan trasendensi nilai, bukan menukar perkumpulan dengan narasi transaksional. Disinilah relevansi kesalehan ekologi hadir bukan sebagai jargon normative, akan tetapi sebagai amanah ilahiah yang membumi.

Konsep _imaratul ard_ dalam al-Qur’an, manusia diberikan mandate untuk memakmurkan bumi, bukan mengeksploitasi bumi demi konten media social atau tender proyek atas nama dakwah. Filsuf Hans (1979) Jonas dalam the imperative of responbility menyatakan bahwa dalam era teknologi modern, tanggungjawab moral harus bisa mencakup generasi masa depan dan kondisi ekologis yang memungkinkan keberlanjutan kehidupan yang layak. Namun, hari ini sebagian kita tampak lebih mempedulikan kondisi feed Instagram dari pada kondisi hutan yang ditebangi.

Maka sebagai penutup dengan percikan lentera high politics Muhammdiyah semestinya ekologi kita pandang sebagai medan dakwah yang luhur dan jujur. Tanah yang kita tinggali bukan sekedar lokasi pembangunan, melainkan saksi bisu dari tauhid yang ekologis dimana iman, ilmu dan amal menyatu dalam tanggungjawab spiritual terhadap lingkungan. Jangan sampai kita jadikan ladang-ladang nan hijau sebagai lahan argument proyek, dan langit dijadikan kanvas janji palsu pembangunan. Kita meyakini bahwa kebajikan itu lahir dari habitus yang benar. Namun jika habitus yang kita munculkan adalah kebalikan sehingga yang timbul konferensi, seminar, dan selfie maka nihil lah refleksi, sehingga lahir generasi yang fasih berbicara keadilan social, fasih dalam hitungan untung rugi sebeleum memulai, fasih dalam perebutan kuasa sehingga buta terhadap keadilan ekologis yang paripurna. Ilmu amaliah, amal ilmiah pedoman penting dalam merefleksikan kehidupan di muka bumi. Fastabiqul khairat.

Related

Opini 8352429662461257418

Terbaru

Hot in week

Komentar

item