Sunyi yang Tak Ramai
Ewia Akademisi / Aktivis Perempuan Beberapa pekan terakhir, saya menjadi semacam pelabuhan sunyi bagi orang-orang yang tampaknya lelah berpu...

![]() |
Ewia Akademisi / Aktivis Perempuan |
Beberapa pekan terakhir, saya menjadi semacam pelabuhan sunyi bagi orang-orang yang tampaknya lelah berpura-pura kuat. Bukan karena saya punya jawaban, tapi mungkin karena saya cukup tenang untuk mendengarkan. Ada yang bercerita di sela malam, ada pula yang sekadar menumpahkan isi kepala lewat pesan panjang. Polanya sama: mereka merasa kosong—di tengah keberhasilan, di tengah hiruk-pikuk, bahkan di tengah orang-orang yang mencintai mereka.
Ada yang mengaku ingin menyerah. Bukan karena hidupnya buruk, melainkan karena ia tak lagi tahu untuk apa semua ini dijalani. Ada juga yang bilang, “Saya capek sekali, tapi bahkan saya tak tahu apa yang membuat saya lelah.”
Saya pun diam-diam bertanya ke dalam diri: bagaimana mungkin kita bisa begitu ramai di luar, tapi senyap di dalam?
Sebagai seseorang yang banyak menghabiskan waktu sendirian, saya mencoba merefleksikan makna “kesendirian” dan “kesepian”. Keduanya tampak serupa, tapi tak selalu identik. Saya sering sendiri, tapi tidak merasa sepi. Bahkan, dalam keheningan saya menemukan ruang terbaik untuk mengenali diri sendiri. Di sana, saya tidak harus menjadi siapa-siapa. Saya tidak harus tampil, menjelaskan, atau memenuhi ekspektasi.
Kesendirian membuat saya merasa manusia seutuhnya. Saya membaca, menulis, menyusun melodi, atau sekadar menatap langit pagi dari balik jendela. Ada semacam kedamaian yang tak bisa dibeli di toko manapun.
Namun tidak semua orang punya pengalaman serupa. Banyak yang merasa ditelan gelap justru ketika mereka sendiri. Mereka tak tahan berhadapan dengan keheningan, karena di situlah suara-suara batin yang lama dikubur mulai berbicara. Maka, mereka sibuk mencari pelarian: dalam percakapan yang kosong, dalam konsumsi yang berlebihan, bahkan dalam kecanduan yang tak pernah benar-benar memuaskan.
Jika kita telisik lebih dalam, akar dari kesepian tak selalu soal tidak adanya orang lain. Seringkali, kesepian justru tumbuh ketika kita kehilangan kontak dengan kenyataan—dengan tubuh kita, dengan saat ini, dengan keberadaan kita apa adanya.
Pertama, kesepian bisa hadir dalam hubungan yang secara sosial sah, tapi secara emosional kosong. Kita bisa duduk berdampingan, tapi jauh. Kita bisa tertawa bersama, tapi tidak tersentuh. Ini bukan soal jumlah interaksi, melainkan kualitas keterhubungan.
Kedua, kita tenggelam dalam arus pikiran yang tak henti. Pikiran membawa kita ke masa lalu yang penuh sesal, atau masa depan yang penuh cemas. Akibatnya, kita kehilangan pijakan pada saat ini—dan dalam kekosongan itu, kesepian masuk tanpa permisi.
Ketiga, kita terjebak dalam ilusi keterpisahan. Kita anggap diri ini entitas terpisah dari semesta, dari makhluk lain, dari bumi. Padahal sejatinya, kita adalah bagian dari satu tarikan nafas yang sama. Dualisme ini melahirkan keterasingan eksistensial.
Keempat, luka-luka sosial dan trauma membuat banyak orang menutup diri. Isolasi pun terjadi bukan karena pilihan, melainkan karena rasa takut. Sayangnya, dalam ruang itu, kesepian tidak sembuh—ia justru tumbuh membentuk akar dalam.
Kelima, kita berusaha kabur dari kesepian, tapi justru memperkuatnya lewat pelarian-pelarian semu. Konsumerisme, narsisme digital, hingga ketergantungan pada relasi yang tidak sehat menjadi contoh jalan buntu yang makin memperdalam luka.
Di tengah segala paradoks ini, saya belajar bahwa yang dibutuhkan bukanlah lebih banyak distraksi, melainkan lebih banyak kehadiran. Bukan hadir di timeline orang lain, tapi hadir di diri sendiri. Hadir dalam rasa, dalam nafas, dalam ruang yang paling sepi sekalipun.
Kesepian, jika dijalani dengan jujur, bisa menjadi pintu masuk menuju pengenalan diri. Kita mungkin takut berhadapan dengannya, tapi justru dari sanalah kita pulang ke pusat yang telah lama kita tinggalkan: keheningan yang penuh, bukan kosong.
Dan barangkali, dalam kesendirian itulah kita menemukan bahwa kita tak pernah benar-benar sendiri. Karena di balik segala suara yang memekakkan, semesta selalu berbisik: _kamu cukup, kamu ada, dan itu sudah indah adanya._